myPangandaran - Informasi Pangandaran Terlengkap

Jalan Tanah di Pangandaran yang Tinggal Sebuah Kisah

Oleh Adi Sumaryadi pada Rabu, 04 Juli 2018 17:51 WIB

Wanita paruh baya itu masih terlihat segar mengayuh sepedanya dari arah utara Pasar Pananjung Pangandaran, tujuannya tiada lain menjajakan nasi kuning yang terbungkus rapih menggunakan daun pisang, diatasnya tampak khas dengan irisan-irisan telor yang digoreng dadar. Lebih dari separuh perjalannya, ban sepeda kumbang yang sudah gundul dan tampak benang-benangnya itu langsung menyentuh tanah, maklum saja, banyak ruas jalan yang memang belum menggunakan beton seperti sekarang ini dan bahan menggunakan aspal yang mengkilat.

Lewat pasar Pananjung Pangandaran, ibu-ibu tadi akan menyusuri jalan tanah yang cukup panjang di area kebun kakau (coklat) hingga sampai di jalan Sumardi, tepat yang saat ini menjadi pasar wisata Pangandaran. Jalan ini penuh kenangan untuk orang Pangandaran, jalan ini juga menjadi jalan yang sangat sejuk saat itu, karena memang berada di antara rimbunnya pohon kakau yang terbentang luas berhektar-hektar.

Sesekali ada pasir tipis di sisi kanan dan sisi kiri karena tergeser oleh laju roda kendaraan yang melintas, pasir-pasir itu gemerlap saat terkena sinar matahari.

Pangandaran telah berubah, tentu berubah lebih baik bila dilihat dari perkembangan infrastruktur, saat ini, sudah jarang terlihat jalan-jalan tanah menghiasi sudut-sudut perkampungan. Sebagai contoh saja, jalan siliwangi yang ada di desa Babakan yang dulu jalan tanah sekarang sudah beraspal, jalan-jalan tanah di daerah Bojongjati Pananjung juga berubah menjadi jalan beton, begitu pula jalan-jalan yang ada di Wonoharjo.

Jalan tanah di Pangandaran menyimpan sejuta kenangan, dengan jalan yang padat mulus berpasir, sesekali ada pasir tipis di sisi kanan dan sisi kiri karena tergeser oleh laju roda kendaraan yang melintas, pasir-pasir itu gemerlap saat terkena sinar matahari. Sering juga menyaksikan anak-anak bermain di pinggir jalan sambil memegang magnet yang dilepas dari speaker tape cassete milik ayahnya yang sudah rusak, mereka mengumpulkan pasir besi yang memang mudah didapatkan dengan menggunakan magnet. Tidak sedikit pinggiran jalan tanah ditanami pohon mamangkokan sebagai pemisah antara halaman rumah dan jalan, maklum saja, kadang dulu sangat sulit memisahkan mana jalan mana halaman rumah, karena sama-sama tanah.

Jalan tanah saat itu masih sangat aman untuk anak-anak bermain, atau sekedar bermain tanah, tak ada kendaraan yang melaju dengan kencang seperti sekarang, hanya sesekali sepeda tua milik pedagang yang hendak ke Pantai, atau becak-becak yang melintas menuju pasar.

Masa sudah berubah, kendaraan roda empat dan kendaraan besar sudah banyak dimiliki warga Pangandaran, jalan tanah sudah terlalu uzur untuk memopang berat mereka, jalan tanah tak lagi kuat menahan tekanan roda-roda yang berjalan cepat, apalagi saat musim penghujan tiba. Dan memang, jalan tanah sudah saatnya diganti dengan aspal yang hitam menantang, dengan beton yang keras dan kuat. Jalan tanah memang terlalu naif untuk disebut sebagai tanda bahwa sebuah daerah sudah maju, biarkan waktunya aspal dan beton berjaya. Namun jalan tanah tetap menyimpan kenangan, khususnya untuk orang Pangandaran.